PERANAN
ILMU FIQIH DALAM IJTIHAD
1. Pengertian
Ijtihad
Definisi ilmu
fiqih secara umum ialah ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau
hukum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat
individu msupun berbentuk masyarakat sosial.
Ditinjau dari
etimilogi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Ada 2 bentuk mashdar yang
dapat terbentuk dari kata jahada, pertama ,kata jahd, yang mengandung arti
kesungguhan. Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya
terkandung makna suklit, berat, dan susah.[1]
Adapun kata
ijtihad secara termonologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama.
Definisi-definisi tersebut, antara lain:
a. Menurut
Ibnu as-Subki
Ijtihad
adalah pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukum syara’
yang bersifat dzanni.
b. Menurut
al-Amidi
Ijtihad
adalah pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang
bersifat dzanni, sehingga merasa tidak
mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
c. Menurut
asy-ayasukani
Ijtihad
adalah pengarahan kemampuan dalam mencapai hukum syara’ yang bersifat amaliyyah
dengan mengunakan metode istinbath.
d. Menurut
Muhammad Abu Zahrah
Pengerahan
kemampuan seorang ahli figh untuk menggali hukum-hukum (syara’) yang bersifat
amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat
terperinci.
Dari
empat definisi yang dikutip di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud ijtihad
memiliki beberapa unsure yaitu sebagai berikut:
-
Pengarahan kemampuan nalar secara
maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
-
Menggunakan metode istinbath (penggalian
hukum).
-
Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’
yang terperinci.
-
Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan
hukum syara’ yang berkaitan dengan
masalah-masalah amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan masalah akidah atau
akhlak).
-
Hukum syara’ yang ditemukan tersebut
bersifat zhanni (kuat dugaan; relavie), bukan yang bersifat qath’I (pasti;
absolute)
Pertumbuhan
Ijtihad pada kenyataannya telah tumbuh sejak masa-masa awal islam. Yaitu pada
zaman Nabi Muhammad, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan
tabi’in, serta masa-masa generasi selanjutnya sehinggakini dan yang akan
datang. Ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’
dari apa yang dianggap syar’I sebagai dalil yang kitabullah dan sunnah
nabi-Nya.[2]
2. Dasar
Hukum Ijtihad
Keberadaan
ijtihad ditopang oleh banyak dalil, baik ayat-ayat al-quran maupun sunah. Baik
secara langsung maupun tidak langsung yang mendukungnya. Dari al-quran , antara
lain, firman Allah pada surah an-Nisa: 59
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
59.”Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Pada
ayat diatas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah yang menjadi objek
perbedaan pendapat kepada Allah dan Rasul-Nya.
cara yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami kandungan makna dan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat al quran dan hadis.
Adapun
landasan ijtihad yang berasal dari hadist. Misalnya: Dari Abu Hurairah , ia
berkata: Rasulullah bersabda: “Jika seorang hakim hendak memutuskan suatu
perkara, kemudian ia berijtihad dan
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. tetapi jika ia berijtihad,
kenudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.
3. Syarat-syarat
ijtihad
Setiap
orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid, harus memiliki
persyaratan umum, yaitu sebagai berikut:
-
Baligh
-
Berakal
-
Memiliki bakat kemampuan nalar yang
tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak
-
Memiliki keimanan yang baik.[3]
Para mujtahid
dalam berijtihad perlu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
- Benar-benar
mengetahui nash-nash (ketentuan-ketentuan) qur’an dan hadist yang
berhunungan dengan masalah yang diijtihatkannya.
- Memahami
Al quran secara mendalam, minimal yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum
(ayat al-ahkam).
- Benar-benar
memahami atau mengerti bahasa arab yang hendak ditafsirkan.
- Betul-betul
tahu dengan ilmu hadist, sehingga dapat membedakan antara hasidt yang
dapat menjadi dalil dengan hadist yang dha’if.
- Mengetahui
ilmu ushul fiqh, karna ilmu ini adalah tiang dasar untuk berijtihad.
- Memahami
tujuan-tujuan pensyariatan hukum (maqashid asy-syariah).
- Memiliki
akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.[4]
Tingkatan-tingkatan
mujtahid adalah:
-
Mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki
syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak
terikat oleh sesuatu madzhab.
-
Mujtahid muntasib, yaitu orang yang
mempunyai syarat-syarat ijtihad, tapi menggabungkannya dirinya kepada suatu
madzhab karna mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh imam tersebut dalam
berijtihad.[5]
Kewajiban
para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah adalah perlu memperhatikan:
- Tentang
nash-nash kitab dan sunah
- Khabar-khabar
mutawatir dan ahad
- Zhahir
kitab dan sunnah dan mengambil faedah dengan manthuq dan mufhum keduanya
- Perbuatan-perbuatan
nabi, kemudian taqririnya
- Kemudian
mempergunakan qias.[6]
4. Macam-Macam
Ijtihad
Ditinjau
dari segi metodenya, sebagaimana yang di rumuskan ad-Duwailibi, ijtihad dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
- Al-Ijtihad
al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan
hukum-hukum syara ’yang terdapat dalam nash al quran dan sunah.
- Al-
Ijtihad al- qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum
syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash al quran maupun
hadisnya. Dengan cara mengqiyaskannya kepada huum-hykum syara’ yang ada
nashnya.
- Al-Ijtihad
al-istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’
atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-nya, baik dari al-quran
maupun sun ah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah
(kemaslahatan).
Adapun
ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
- Ijtihad
Fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberpa orang untuk
menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang belum diketahui
hukumnya.
- Ijtihad
jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk
menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini
menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan
ijma’ al-ulama’.
Selain
itu ada 3 macam-macam ijtihat, yaitu: pertama, member segala daya kesanggupan
untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya,
atau hdanni dalalahnya.[7]
Kedua, member segala daya kesanggupan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak
ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Ketiga,
memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syra’ dengan
jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.
5. Cara
melakukan ijtihad
Seseorang
yang hendak melakukan ijtihad haruslah memperhatikan urutan-urutan sebagai
berikut:
- Dalil
manthul: Nash-nash al-quran, - Hadis mutawatir, - Hadis ahad, - Zhahir
al-quran, - Zhahir hadist.
- Dalil
mafhum: Mafhum Al Quran dan Mafhum Hadist
- Perbuatan
dan Taqrir nabi
- Qiyas
- Bara’ah
ashliyah
Apabila
ia menghadapi dalil-dalil yang berlawana, hendaknya ditempuh dengan beberapa
alternative sebagai berikut:
-
Memadukan
atau mengkompromikan dalil-dalil tersebut
-
Mentarjihkan
( menguatkan salah satunya)
-
Menasakhkan, yaitu dicari mana yang
lebih dahulu dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinasakhkan
(tidak berlaku lagi)
-
Tawaqquf, ia tidak boleh menggunakan
dalil-dalil yang bertentangan tersebut
-
Menggunakan dalil yang lebih rendah
tingkatannya.[8]
6. Hukum
Berijtihad
Orang
yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum
atas dasar fardhu kifayah. Ada ulama yang berkata: kita perlu membayangkan
hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agarcketika terjadi
hal-hal hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha’ ahlu ra’yi dan
golongan hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah
terjadi ijma’.
-
Apabila seseorang memenuhi syaratuntuk
melakukan ijtihad dan dirinya menghadapi masalah hukum yang perlu segera
mendapat jawaban hukum, maka ia wajib (fardhu ‘ain) melakukan kegiatan ijtihad.
-
Jika ada orang lain yang memenuhi syarat
syarat berijtihad selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad menjadi
wajib kifayah baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut, jika kegiatan
ijtihad dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang
melaksanakannya, maka semua meraka yang memenuhi syarat berijtihad menjadi
berdoasa.
-
Hukum beijtihad menjadi sunah apabila
ijtihad dilakukan untuk mengetahui hukum masalah-masalah yang belum terjadi,
baik masalah itu ditanyakan kepada mujtahid ataupun tidak.
-
Menjadi haram apabila ijtihad dilakukan
untuk mengetahui hukum masalah-masalah yang telah jelas hukumnya berdasarkan
nash Al Quran maupun sunnah yang bersifat qath’I ats tsubut wa ad-dalalah.
-
Sedangkan terhadap masalah-masalah yang
tidak didasarkan atas nash yang bersifat qath’i ats-tsubut/al-wurud wa ad-dalalah,
maka hukumnya adalah mubah.
KESIMPULAN
Definisi ilmu
fiqih secara umum adalah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at
atau hukum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang
bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial. Dan pengertian
ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki)
suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak kepada
kitab dan sunah.
Syarat-syarat
mujtahid dalam berijtihad adalah: benar-benar mengetahui nash Al Quran yang
berhubungan dengan masalah yang di ijtihadkan, mengerti dan mengetahui bahasa
arab, tahu tentang ilmu hadist, mengetahui ilmu ushul fiqh, maqashid
asy-syariah, Memiliki akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Ditinjau
dari segi metodenya, sebagaimana yang di rumuskan ad-Duwailibi, ijtihad dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut: Al-Ijtihad al-bayani, Al-
Ijtihad al- qiyasi, Al-Ijtihad al-istishlahi. Adapun ditinjau dari segi jumlah
orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua,
yaitu: Ijtihad Fardi, Ijtihad jama’i.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1989. Pengantar
Ilmu Figh. Jakarta: Bulan Bintang.
Bakry, Nazar. 1984. Figh Dan
Uahul Fiqh. Padang: Aksara Persada.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul
Figh. Jakarta: Amzah.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sukardja,
Ahmad Dkk, 1983. Syari’ah, Jakarta: Departemen Agama.
Zuhri, Mohammad. 1980. Tarikh
Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhyah.
[1]
Abd. Rahman Dahlan. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah. Hal. 338.
[2]
Mohammad Zuhri. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul
Ikhya. Hal. 256.
[3]
Abd. Rahman Dahlan. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. Hal. 350.
[4]
Beni Ahmad Saebani. 2008. Ilmu Ushul Figh. Bandung: Pustaka Setia. Hal.
182.
[5]
Ahmad Sukardja dkk. 1983. Syari’ah,
Jakarta: Departemen Agama. Hal. 28.
[6]
Nazar Bakry. 1984. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Padang: Aksara Persada. Hal. 60.
[7]
M Hasbi Ash Shiddieqy. 1989. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang.
Hal. 192.
[8]
Ahmad Sukardja dkk. 1983. Syari’ah, Jakarta: Departemen Agama. Hal. 30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar