Kamis, 26 Maret 2015

ushul fiqih-peranan ilmu fiqih dalam ijtihad

PERANAN ILMU FIQIH DALAM IJTIHAD

1.     Pengertian Ijtihad
Definisi ilmu fiqih secara umum ialah ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu msupun berbentuk masyarakat sosial.
Ditinjau dari etimilogi, kata ijtihad berasal dari kata jahada. Ada 2 bentuk mashdar yang dapat terbentuk dari kata jahada, pertama ,kata jahd, yang mengandung arti kesungguhan. Kedua, kata juhd dengan arti adanya kemampuan yang didalamnya terkandung makna suklit, berat, dan susah.[1]
Adapun kata ijtihad secara termonologi, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama. Definisi-definisi tersebut, antara lain:
a.       Menurut Ibnu as-Subki
Ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukum syara’ yang bersifat dzanni.
b.      Menurut al-Amidi
Ijtihad adalah pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat dzanni, sehingga  merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
c.       Menurut asy-ayasukani
Ijtihad adalah pengarahan kemampuan dalam mencapai hukum syara’ yang bersifat amaliyyah dengan mengunakan metode istinbath.
d.      Menurut Muhammad Abu Zahrah
Pengerahan kemampuan seorang ahli figh untuk menggali hukum-hukum (syara’) yang bersifat amaliyyah dari dalil-dalil yang  bersifat terperinci.
Dari empat definisi yang dikutip di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud ijtihad memiliki beberapa unsure yaitu sebagai berikut:
-          Pengarahan kemampuan nalar secara maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
-          Menggunakan metode istinbath (penggalian hukum).
-          Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci.
-          Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang  berkaitan dengan masalah-masalah amaliyyah (bukan yang berkaitan dengan masalah akidah atau akhlak).
-          Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni (kuat dugaan; relavie), bukan yang bersifat qath’I (pasti; absolute)
Pertumbuhan Ijtihad pada kenyataannya telah tumbuh sejak masa-masa awal islam. Yaitu pada zaman Nabi Muhammad, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa generasi selanjutnya sehinggakini dan yang akan datang. Ijtihad adalah mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syar’I sebagai dalil yang kitabullah dan sunnah nabi-Nya.[2]

2.     Dasar Hukum Ijtihad
Keberadaan ijtihad ditopang oleh banyak dalil, baik ayat-ayat al-quran maupun sunah. Baik secara langsung maupun tidak langsung yang mendukungnya. Dari al-quran , antara lain, firman Allah pada surah an-Nisa: 59
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
59.”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Pada ayat diatas Allah memerintahkan untuk mengembalikan masalah yang menjadi objek perbedaan pendapat kepada Allah  dan Rasul-Nya. cara yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad memahami kandungan makna dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat al quran dan hadis.
Adapun landasan ijtihad yang berasal dari hadist. Misalnya: Dari Abu Hurairah , ia berkata: Rasulullah bersabda: “Jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara,  kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. tetapi jika ia berijtihad, kenudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.
3.     Syarat-syarat ijtihad
Setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid, harus memiliki persyaratan umum, yaitu sebagai berikut:
-          Baligh
-          Berakal
-          Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak
-          Memiliki keimanan yang baik.[3]
Para mujtahid dalam berijtihad perlu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Benar-benar mengetahui nash-nash (ketentuan-ketentuan) qur’an dan hadist yang berhunungan dengan masalah yang diijtihatkannya.
  2. Memahami Al quran secara mendalam, minimal yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum (ayat al-ahkam).
  3. Benar-benar memahami atau mengerti bahasa arab yang hendak ditafsirkan.
  4. Betul-betul tahu dengan ilmu hadist, sehingga dapat membedakan antara hasidt yang dapat menjadi dalil dengan hadist yang dha’if.
  5. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karna ilmu ini adalah tiang dasar untuk berijtihad.
  6. Memahami tujuan-tujuan pensyariatan hukum (maqashid asy-syariah).
  7. Memiliki akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.[4]
Tingkatan-tingkatan mujtahid adalah:
-          Mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab.
-          Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat ijtihad, tapi menggabungkannya dirinya kepada suatu madzhab karna mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh imam tersebut dalam berijtihad.[5]
Kewajiban para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu masalah adalah perlu memperhatikan:
  1. Tentang nash-nash kitab dan sunah
  2. Khabar-khabar mutawatir dan ahad
  3. Zhahir kitab dan sunnah dan mengambil faedah dengan manthuq dan mufhum keduanya
  4. Perbuatan-perbuatan nabi, kemudian taqririnya
  5. Kemudian mempergunakan qias.[6]

4.     Macam-Macam Ijtihad
Ditinjau dari segi metodenya, sebagaimana yang di rumuskan ad-Duwailibi, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
  1. Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara ’yang terdapat dalam nash al quran dan sunah.
  2. Al- Ijtihad al- qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash al quran maupun hadisnya. Dengan cara mengqiyaskannya kepada huum-hykum syara’ yang ada nashnya.
  3. Al-Ijtihad al-istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash-nya, baik dari al-quran maupun sun ah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).
Adapun ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Ijtihad Fardi, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh seorang atau beberpa orang untuk menemukan hukum syara’ dari suatu peristiwa hukum yang belum diketahui hukumnya.
  2. Ijtihad jama’i, yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan oleh seluruh mujtahid untuk menemukan hukum suatu peristiwa yang terjadi, dimana ijtihad ini menghasilkan kesepakatan bersama. Ijtihad model inilah yang disebut dengan ijma’ al-ulama’.
Selain itu ada 3 macam-macam ijtihat, yaitu: pertama, member segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau hdanni dalalahnya.[7] Kedua, member segala daya kesanggupan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Ketiga, memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syra’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.
5.     Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak melakukan ijtihad haruslah memperhatikan urutan-urutan sebagai berikut:
  1. Dalil manthul: Nash-nash al-quran, - Hadis mutawatir, - Hadis ahad, - Zhahir al-quran, - Zhahir hadist.
  2. Dalil mafhum: Mafhum Al Quran dan Mafhum Hadist
  3. Perbuatan dan Taqrir nabi
  4. Qiyas
  5. Bara’ah ashliyah
Apabila ia menghadapi dalil-dalil yang berlawana, hendaknya ditempuh dengan beberapa alternative sebagai berikut:
-          Memadukan atau mengkompromikan dalil-dalil tersebut
-          Mentarjihkan ( menguatkan salah satunya)
-          Menasakhkan, yaitu dicari mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinasakhkan (tidak berlaku lagi)
-          Tawaqquf, ia tidak boleh menggunakan dalil-dalil yang bertentangan tersebut
-          Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya.[8]

6.     Hukum Berijtihad
Orang yang mempunyai kelengkapan syarat ijtihad ditugaskan mengistinbathkan hukum atas dasar fardhu kifayah. Ada ulama yang berkata: kita perlu membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi lalu kita bahas hukumnya, agarcketika terjadi hal-hal hukum telah ada. Inilah jalan yang ditempuh oleh fuqaha’ ahlu ra’yi dan golongan hanafiyah. Dan haram berijtihad pada masalah-masalah yang telah terjadi ijma’.
-          Apabila seseorang memenuhi syaratuntuk melakukan ijtihad dan dirinya menghadapi masalah hukum yang perlu segera mendapat jawaban hukum, maka ia wajib (fardhu ‘ain) melakukan kegiatan ijtihad.
-          Jika ada orang lain yang memenuhi syarat syarat berijtihad selain dirinya, maka ketika itu hukum berijtihad menjadi wajib kifayah baginya. Artinya ia bebas dari kewajiban tersebut, jika kegiatan ijtihad dilakukan oleh mujtahid lainnya. Tetapi jika tidak ada yang melaksanakannya, maka semua meraka yang memenuhi syarat berijtihad menjadi berdoasa.
-          Hukum beijtihad menjadi sunah apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui hukum masalah-masalah yang belum terjadi, baik masalah itu ditanyakan kepada mujtahid ataupun tidak.
-          Menjadi haram apabila ijtihad dilakukan untuk mengetahui hukum masalah-masalah yang telah jelas hukumnya berdasarkan nash Al Quran maupun sunnah yang bersifat qath’I ats tsubut wa ad-dalalah.
-          Sedangkan terhadap masalah-masalah yang tidak didasarkan atas nash yang bersifat qath’i ats-tsubut/al-wurud wa ad-dalalah, maka hukumnya adalah mubah.

                                                                                                         




                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   


KESIMPULAN

Definisi ilmu fiqih secara umum adalah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syari’at atau hukum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial. Dan pengertian ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan yang ada dalam membahas (menyelidiki) suatu masalah untuk mendapatkan suatu hukum yang sulit bertitik tolak kepada kitab dan sunah.
Syarat-syarat mujtahid dalam berijtihad adalah: benar-benar mengetahui nash Al Quran yang berhubungan dengan masalah yang di ijtihadkan, mengerti dan mengetahui bahasa arab, tahu tentang ilmu hadist, mengetahui ilmu ushul fiqh, maqashid asy-syariah, Memiliki akhlak terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Ditinjau dari segi metodenya, sebagaimana yang di rumuskan ad-Duwailibi, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut: Al-Ijtihad al-bayani, Al- Ijtihad al- qiyasi, Al-Ijtihad al-istishlahi. Adapun ditinjau dari segi jumlah orang yang melakukan ijtihad (mujtahid), ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu:  Ijtihad Fardi, Ijtihad jama’i.










DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, M. Hasbi. 1989. Pengantar Ilmu Figh. Jakarta: Bulan Bintang.
Bakry, Nazar. 1984. Figh Dan Uahul Fiqh. Padang: Aksara Persada.
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Figh. Jakarta: Amzah.
Saebani, Beni Ahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Sukardja, Ahmad Dkk, 1983. Syari’ah, Jakarta: Departemen Agama.
Zuhri, Mohammad. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhyah.




[1] Abd. Rahman Dahlan. 2010. Ushul Fiqih. Jakarta: Amzah. Hal. 338.
[2] Mohammad Zuhri. 1980. Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhya. Hal. 256.
[3] Abd. Rahman Dahlan. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. Hal. 350.
[4] Beni Ahmad Saebani. 2008. Ilmu Ushul Figh. Bandung: Pustaka Setia. Hal. 182.
[5] Ahmad Sukardja dkk. 1983.  Syari’ah, Jakarta: Departemen Agama. Hal. 28.
[6] Nazar Bakry. 1984. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Padang: Aksara Persada. Hal. 60.
[7] M Hasbi Ash Shiddieqy. 1989. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang. Hal. 192.
[8] Ahmad Sukardja dkk. 1983. Syari’ah, Jakarta: Departemen Agama. Hal. 30.