Minggu, 08 Maret 2015

PSIKOLOGI AGAMA

BAB 1
PENDAHULUAN

Manusia tampil dimuka bumi ini sebagai homo religius yang mempunyai makna bahwa ia memiliki sifat-sifat religius. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar, manusia mempunyai dorongan dan kekuatan guna mendappatkan keamanan hidup pemenuhan kebutuhan di bidang keagamaan.
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang spesifik, baik dilihat dari segi fisik maupun nonfisiknya. Ditinjau dari segi fisik, tidak ada makhluk lain yang memiliki tubuh sesempurna manusia. Sementara dari segi nonfisik manusia memiliki struktur ruhani yang sangat membedakan dengan makhluk lain.
Jasmani atau fisik manusia dikaji dan diteliti oleh disiplin anatomi, biologi, ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu lainnya; sedangkan jiwa manusia dipelajari secara khusus oleh psikologi.  Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno, psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu tentang jiwa. Para ahli psikologi modern saat ini tidak mengartikan psikologi sebagai ilmu tentang gejala dan aktivitas jiwa manusia. Apa yang dimaksud dengan jiwa (ruh) itu, tidak seorangpun tau dengan sesungguhnya. Jiwa adalah sangat abstrak dan tidak dapat diikuti oleh panca indera.
Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatik, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi.
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya. 
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak, apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.
Untuk menjawab semua persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keyakinan itulah, maka ilmu jiwa agama perlu meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempengaruhi berapa besar pengaruh keyakinan agama tersebut dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Psikologi agama sangat berpengaruh dan menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Dalam hal ini akan dijelaskan bagaimana pengertian psikologi agama yang akan dibahas dalam makalah ini. Penulis berharap ada tujuan akhir yang akan dicapai dalam mempelajari psikologi agama sehingga makalah ini bermanfaat dalam memahami psikologi agama. Penulis juga bertujuan mengajak para pembaca untuk memahami agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.





BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Psikologi Agama
Menurut bahasa Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata psyhe yang berarti jiwa, kemudian logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa dan prilaku manusia. Pisikologi dalam islam dapat diartikan sama dengan ilmu jiwa, sedangkan psikologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia yang berkaitan dengan kognisi, emosi, konasi, dan gejala campuran. Gejala campuran ini sepertiintelegensi, kelelahan maupun sugesti. Pisikologi juga mengkaji gejala-gejala jiwa yang berhubungan dengan tingkah laku.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari atau membahas tentang gejala-gejala jiwa dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaannya. Sikap dan tingkah laku adalah gejala yang dapat dilihat dan dapat dipelajari dari kondisi jiwa yang abstrak.
Sedangkan agama berasal dari bahasa latin religio yang berarti obligation atau kejiwaan. Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai moral dengan umat manusia.[1] Syahminan Zaini mengatakan ada tiga pendapat mengenai asal kata agama yaitu:
a.       Berasal dari bahasa sansekerta yaitu a yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau.
b.       Berasal dari bahasa sansekerta yaitu gam yang berarti jalan kata ini ada hubungannya dengan bahasa inggris (to go) yang berarti pergi
c.       Berasal dari bahasa Arab iqoma kemudian berubah menjadi agama. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang berasal dari huruf qof biasanya menjadi kaf  seperti akola menjadi akal.
Dari pengertian-pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa agama adalah suatu pedoman atau petunjuk bagi kehidupan manusia yang merupakan ikatan yang kuat yang diyakini yang dapat membawa umatnya kejalan yang lurus serta menunjukkan kepada suatu jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu ketenangan, kebahagiaan, serta kemantapan hati.
Berdasarkan pengertian psikologi dan agama maka para ahli memberikan pengertian antara lain : psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berfikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.[2] Agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mensugesti esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal atau pribadi yang merupakan proses pisikologis seseorang. Yang ke dua yaitu keimanan yang sebenarnya instinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Menurut Zakiyah Drajat melihat bahwa pisikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada diri seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan tersebut dalam sikap dan tingkah laku serta kaadaan hidup pada umumnya. Adapun menurut Robert H Thous pisikologi agama adalah cabang dari pisikologi yang bertujuan mengembangkan pemahaman terhadap prilaku keagamaan dengan mengaplikasikan perinsip-perinsip pisikologi yang diambil dari kajian terhadap prilaku bukan keagamaan.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pisikologi agama adalah ilmu yang membahas, mempelajari, memahami kehidupan beragama pada manusia dalam hubungannya dengan sikap dan prilaku keberagaman atau sama dengan ilmu yang membahas dan menelaah kehidupan beragama seseorang mulai dari sumber-sumber jiwa keagamaan, perkembangan, karakteristik, factor yang mempengaruhi, gangguan dalam perkembangan serta penyimpangan dan mengenai kecerdasan serta kematangan beragama.
2.      Ruang Lingkup Pisikologi Agama
Pisikologi agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari disiplin ilmu yang mempelajari massalah agama dan ilmu perbandingan agama dimana keduanya memiliki tujuan yang sama yang tak jauh berbeda, yang mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metode-metode penelitian yang bertipe bukan agama bukan teologis. Objek dalam ruang lingkup pisikologi agama menyangkut gejala-gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan dan mekanisme antara keduanya.[3]
Zakiah Darajat menyataka  bahwa lapangan penelitian pisikologi agama mencakup proses beragam perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Menurut Zakiah Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian pisikologi agama meliputi kajian mengenai:
a.       Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa, seperti rasa lega dan tentram sesudah solat, rasa lepas dari keteganggan batin sesudah berdo’a atau membaca ayat-ayat suci, dan ingat Allah SWT ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
b.      Bagamana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa tentram dan kelegaan hati.
c.       Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati pada tiap-tiap orang.
d.      Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surge dan neraka, serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e.       Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayaatan terhadap ayat-ayat suci untuk kelegaan batinnya.
Dengan demikian ruang lingkup pisikologi agama mencakup pengaruh ajaran agama terhadap cara berpikir dan bertingkah laku seseorang, baik anak-anak, remaja, dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Maka sangat wajar jika seseorang yang berminat mempelajari pisikologi agama harus memiliki pengetahuan dasar mengenai ajaran agama dan pisikologi.
Jadi lapangan penelitian pisikologi agama adalah gejala-gejala jiwa yang memantul dan terpancar dari motivasi, ekspresi, sikap dan prilaku yang berkaitan dengan kesadaran, pengalaman dan kematangan beragama manusia. Pisikologi agama tidak mengotak-atik masalah dasar atau akidah atau pokok keyakinan suatu agama seperti konsep Tuhan itu sendiri, surge, neraka, pahala, dosa, kiamat dan sebagainya.
Dari pendapat tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup pisikologi agama adalah:
a.       Gejala-gejala jiwa
b.      Sikap dan perilaku keagamaan
c.       Kematangan beragana dan kelainan-kelainan sikap keberagamaan.
Hal teresbut dapat terelasasi dari dorongan atau motivasi, ekspresi, kesadaran, pengalaman, dan kematangan agama seseorang.

3.      Kegunaan Pisikologi Agama Dalam Islam
Menurut Djalaluddin kegunaan pisikologi agama adalah dapat dimanfaatkan dalam lapangan kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, pisikoterapi dan mungkin pula dalam lapangan lainnya pada kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah colonial belanda memeanfaatkan hasil kajian pisikologi agama untuk kepentingan politik. Pendekatan agama yang dilakukan oleh Snouck Hugronje terhadap para pemuka agama dalam upaya mempertahankan politik penjajahan Belanda di Indonesia.
Di bidang industry juga pisikologi agama dapat dimanfaat kan sekitar tahun 50-an di perusahaan minyak yaitu diselenggarakan ceramah agama untuk para buruhnya. Kemudian sekitar tahun 1979, salah satu perusahaan tekstil pernah melarang para buruhnya menunaikan sholat jumat, karena menurut pimpinan perusahaan waktu istirahat siang dan sholat jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan mengurangai jumlah produksi.[4] Akan tetapi setelah larangan dilaksanakan dan buruh dipaksakan tetap kerja ternyata produksi menurun secara drastic. Disini terlihat hubungan tingkat produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dalam kesadaran beragama.
Dalam kasus-kasus lain pisikologi agama banyak dipakai sebagai satu pendekatan baik secara langsung maupun secara tidak langsung dan juga dapat digunakan untuk membangkitkan perasaan dan kesadaran beragama. Dan juga sebagai pengobatan para pasien di rumah sakit sebagai suatu usaha bimbingan untuk meningkatkan proses penyembuh dari penyakitnya. Selain itu juga dilembaga kemasyarakatan banyak dipakai pendekatan pisikologi agama untuk menyadarkan para narapidana. Demikian juga pisikologi agama dapat digunakan untuk memberikan kesadaran pada para siswa untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegunaan pisikologi agama adalah dapat dilakukan atau dimanfaatkan dalam segala jenis lapangan kehhidupan, baik dalam dunia politik, social kemasyarakatan, perdagangan, ekonomi, pendidikan, dan lapangan-lapangan kehidupan lainnya. Dalam pandangan islam pisikologi dan agama ini sangat dibutuhkan, karena pisikologi dan agama sama-sama mempelajari tentang jiwa dan kepercayaan seseorang terhadap Tuhannya.
Pisikologi dimiliki oleh manusia secara pribadi yang memberikan arah emosional dalam merealisasikan perbuatannya sehari-hari, karena itulah daya-daya jiwa manusia perlu dikembnagkan, diperhatikan dan diarahkan.[5] Salah satu daya jiwa manusia yang sangat menentukan keberhasilan hidup adalah yang dikatakan intelegensi question, kemudian dilengkapai dengan emosional question, serta diarahkan oleh spiritual question. Maksudnya manusia yang diinginkan oleh Allah sebagaimana yang dicantumkan dalam al-quran surat al-Zariat ayat 56 yang artinya “ dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia selain untuk mengabdi kepada-Ku”.
Berarti dalam penciptaan tujuan Allah tersebut sangatlah dibutuhkan kemampuan-kemampuan  dasar manusia atau yang disebut daya-daya jiwa manusia yaitu kemampuan manusia berpikir, kemampuan manusia bertindak, kemampuan manusia menentukan apa yang akan dilakukan. Kemampuan-kemampuan ini adalah bahasan dari pisikologi, sedangkan warna atau bahasan apakah prilaku yang akan dilakukan oleh manusia itu terkategori dibolehkan atau tidak yang kesemuannya itu menentukan tingkat kebaikan dan nilai dari prilaku manusia itu sendiri adalah dibahas dalam islam.
Berarti antara pisikologi agama dan islam dan bahasanya adalah sangat dan saling menunjang dan memperhatikan, hanya pisikologi agama masih meliputi secara umum yaitu meliputi semua agama sedangkan islam khusus untuk agama islam.

4.      Tujuan Pisikologi Agama
Adapun tujuan pisikologi agama adalah untuk meneliti dan menelaah kehidupan beragama seseorang dan mempelajari beberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta kehidupan pada umumnya.[6] Disamping itu ilmu jiwa agama mempelajari pula pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang dan factor-faktor yang mempengaruhi keyakinan.
Dengan kata lain dapat kita katakana bahwa ilmu jiwa agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang karena cara seseorang berfikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu termasuk dalamm konstruksi keperibadiannya.[7]
Pisikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tekhnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan. Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak adaannya Tuhan, karena tidak ada tekhnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa.
Tujuan dari mata kuliah pisikologi agama adalah:
a.       Menjadikan mahasiswa berpikir komperhensif, kritis, analitis, dan berperilaku agamis.
b.      Memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang pengaruh ajaran agama terhadap cara berpikir, cara berperilaku, baik masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan lansia.
c.       Menjadikan mahasiswa menjadi manusia yang sehat jiwa, cerdas, dan matang dalam berideologi.

5.      Dasar-Dasar Pisikologi Dalam Kehidupan Beragama
Dasar-dasar pisikologi dalam kehidupan beragama terdapat dalam surat[8]:
a.       Q.S Al-hujurat ayat 13
Yang artinya” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakaan kamudari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal”.
b.      Q.S Al-baqoroh ayat 21
Artinya” Hai manusia sembahlahAllah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa”.
c.       Q.S Ar-rahman ayat 3-4
Artinya” Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara”.
d.      Q.S Al-A’raf ayat 31
Artinya” Hai anak Adam pakailah pakaianmu yang terindah disetiap memasuki masjid, makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang berlebih-lebih”.
e.       Q.S Al-Mu’minun ayat 12-14
Artinya” Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah, kemudian Kami jadikan sarippati itu menjadi air mani yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumppal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka maha suci Allah, Pencipta yang paling terbaik”.

6.      Teori Sifat Dasar Dalam Kehidupan Beragama
a.       Teori Emosi
Emosi pada umumnya disifatkan sebagai keadaan (state) yang ada pada individu atau organisme pada suatu waktu.Emosi berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, sehingga emosi berbeda dengan mood. Mood  atau suasana hati pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif lebih lama dari pada emosi, tetapi intensitasnya kurang apabila dibandingkan dengan emosi. Apabila seseorang mengalami marah (emosi), maka kemarahan tersebut tidak segera hilang begitu saja tetapi masih terus berlangsung dalam jiwa seseorang (ini yang dimaksud dengan mood) yang akan berperan dalam diri orang yang bersangkutan.
Oleh karena itu sering dikemukakan bahwa emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu(khusus), dan emosi cendrunng terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkiri (avoidance) terhadap sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.
Namun demikian kadang-kadang orang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini berkiatan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen. Menurut Ekman dan Friesen ada tiga rules, yaitu masking, modulation,dan  samulation.
Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyambunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi saja. Pada simulasi(simulation) orang tidak mengalami emosi, tetapi seolah-olah mengalami emosi dengan menampakan gejala-gejala kejasmanian.[9]
b.      Teori Kognitif
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh Reward dan reinforcement. Menurut pendapat para ahli aliran kognitif, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kondisi,[10] yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalamm situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah.
Jadi kaum kognitif berpandangan bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung pada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatau situasai. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus didalam lingkungan serta pada factor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.








BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
Pisikologi agama adalah ilmu yang membahas, mempelajari, memahami kehidupan beragama pada manusia dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku keberagamaan atau sama dengan ilmu yang membahas dan menelaah kehidupan beragama seseorang mulai dari sumber-sumber jiwa keagamaan, perkembangan, karakteristuk, factor yang mempengaruhi, gangguan dan perkembangan serta penyimpangan dan mengenai kecerdasan serta kematangan beragama.
Ruang lingkup pisikologi agama meliputi:
a.       Gejala-gejala jiwa
b.      Sikap dan prilaku keagamaan
c.       Kematangan beragama dan kelainan-kelainan sikap keberagamaan.
Kegunaan pisikologi agama dapat dilakukan atau dimanfaatkan dalam segala jenis lapangan kehidupan, baik dalam dunia politik, social kemasyarakatan, perdagangan, ekonomi, pendidikan, dan lapangan-lapangan kehidupan lainnya.
Tujuan pisikologi agama adalah untuk meneliti dan menelaah kehidupan beragama seseorang dan mempelajari beberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta kehidupan pada umumnya.

2.      SARAN
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengaan pembuatan makalah yang kami buat ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari teman-teman semua dan dosen pembimbing agar makalah ini dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi dan layak untuk dibaca para pembaca. Terima kasih.








[1]Rohmalina Wahab, Psikologi Agama,  Palembang: Grafika Telindo, hal. 1.
[2]Ibid., hal. 5.
[3]Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi , Jakarta: Rajawali Pers, hal. 11.
[4]Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Al-Husna, hal. 64
[5] Ibid., hal. 74.
[6]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 17.
[7] Ibid., hal. 20.
[8]Rohmalina Wahab, Psikologi Agama, Palembang: Grafika Telindo, hal. 15.
[9]J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 306.
[10]W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung: Refika Aditama, hal. 26. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar