BAB 1
PENDAHULUAN
Manusia tampil dimuka bumi
ini sebagai homo religius yang mempunyai makna bahwa
ia memiliki sifat-sifat religius. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling
dasar, manusia mempunyai dorongan dan kekuatan guna mendappatkan keamanan hidup
pemenuhan kebutuhan di bidang keagamaan.
Pada hakekatnya manusia
adalah makhluk yang spesifik, baik dilihat dari segi fisik maupun nonfisiknya.
Ditinjau dari segi fisik, tidak ada makhluk lain yang memiliki tubuh sesempurna
manusia. Sementara dari segi nonfisik manusia memiliki struktur ruhani yang
sangat membedakan dengan makhluk lain.
Jasmani atau fisik manusia
dikaji dan diteliti oleh disiplin anatomi, biologi, ilmu kedokteran maupun
ilmu-ilmu lainnya; sedangkan jiwa manusia dipelajari secara khusus oleh
psikologi. Menurut asal katanya,
psikologi berasal dari bahasa Yunani kuno, psyche yang berarti jiwa dan logos
yang berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu tentang jiwa. Para ahli
psikologi modern saat ini tidak mengartikan psikologi sebagai ilmu tentang
gejala dan aktivitas jiwa manusia. Apa yang dimaksud dengan jiwa (ruh) itu,
tidak seorangpun tau dengan sesungguhnya. Jiwa adalah sangat abstrak dan tidak
dapat diikuti oleh panca indera.
Manusia adalah suatu
mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap
manusia harus menyangkut semua unsur somatik, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu
tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs,
namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs
lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat
diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh.
Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato
dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa
serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa
psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman
yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran,
perasaan, feeling dan kehendaknya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah
Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan
tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena
cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat
dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi
pribadi.
Belajar psikologi agama
tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam
hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya
mencerminkan keyakinannnya.
Mengapa manusia ada yang
percaya Tuhan ada yang tidak, apakah ketidak percayaan ini timbul akibat
pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan
pengalaman hidupnya.
Untuk menjawab semua
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keyakinan itulah, maka ilmu jiwa
agama perlu meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan
mempengaruhi berapa besar pengaruh keyakinan agama tersebut dalam sikap dan
tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Psikologi agama sangat berpengaruh dan menjadi
faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.
Dalam hal ini akan dijelaskan bagaimana
pengertian psikologi agama yang akan dibahas dalam makalah ini. Penulis
berharap ada tujuan akhir yang akan dicapai dalam mempelajari psikologi agama
sehingga makalah ini bermanfaat dalam memahami psikologi agama. Penulis juga
bertujuan mengajak para pembaca untuk memahami agama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Psikologi Agama
Menurut
bahasa Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu kata psyhe yang berarti jiwa, kemudian logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang gejala-gejala jiwa dan prilaku manusia. Pisikologi dalam
islam dapat diartikan sama dengan ilmu jiwa, sedangkan psikologi secara umum
adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia yang berkaitan dengan
kognisi, emosi, konasi, dan gejala campuran. Gejala campuran ini
sepertiintelegensi, kelelahan maupun sugesti. Pisikologi juga mengkaji
gejala-gejala jiwa yang berhubungan dengan tingkah laku.
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari atau membahas tentang gejala-gejala jiwa dan
tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaannya. Sikap dan
tingkah laku adalah gejala yang dapat dilihat dan dapat dipelajari dari kondisi
jiwa yang abstrak.
Sedangkan
agama berasal dari bahasa latin religio yang
berarti obligation atau kejiwaan.
Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah
kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak
Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai moral dengan umat manusia.[1]
Syahminan Zaini mengatakan ada tiga pendapat mengenai asal kata agama yaitu:
a. Berasal dari bahasa sansekerta yaitu a yang berarti tidak dan gama
yang berarti kacau. Jadi agama berarti tidak kacau.
b. Berasal
dari bahasa sansekerta yaitu gam yang
berarti jalan kata ini ada hubungannya dengan bahasa inggris (to go) yang berarti pergi
c. Berasal dari bahasa Arab iqoma kemudian berubah menjadi agama.
Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang berasal dari huruf qof biasanya menjadi kaf seperti akola
menjadi akal.
Dari
pengertian-pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa agama
adalah suatu pedoman atau petunjuk bagi kehidupan manusia yang merupakan ikatan
yang kuat yang diyakini yang dapat membawa umatnya kejalan yang lurus serta
menunjukkan kepada suatu jalan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu
ketenangan, kebahagiaan, serta kemantapan hati.
Berdasarkan
pengertian psikologi dan agama maka para ahli memberikan pengertian antara lain
: psikologi agama adalah ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah
laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut
tata cara berfikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat
dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi
kepribadiannya.[2]
Agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang
mensugesti esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti
sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas
manusia. Hal ini lebih bersifat personal atau pribadi yang merupakan proses
pisikologis seseorang. Yang ke dua yaitu keimanan yang sebenarnya instinsik ada
pada pengalaman dunia dalam seseorang. Menurut Zakiyah Drajat melihat bahwa
pisikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada diri seseorang
dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan tersebut dalam sikap dan
tingkah laku serta kaadaan hidup pada umumnya. Adapun menurut Robert H Thous
pisikologi agama adalah cabang dari pisikologi yang bertujuan mengembangkan
pemahaman terhadap prilaku keagamaan dengan mengaplikasikan perinsip-perinsip
pisikologi yang diambil dari kajian terhadap prilaku bukan keagamaan.
Dengan
demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pisikologi agama adalah ilmu yang
membahas, mempelajari, memahami kehidupan beragama pada manusia dalam
hubungannya dengan sikap dan prilaku keberagaman atau sama dengan ilmu yang
membahas dan menelaah kehidupan beragama seseorang mulai dari sumber-sumber
jiwa keagamaan, perkembangan, karakteristik, factor yang mempengaruhi, gangguan
dalam perkembangan serta penyimpangan dan mengenai kecerdasan serta kematangan
beragama.
2. Ruang Lingkup Pisikologi Agama
Pisikologi
agama memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri yang dibedakan dari
disiplin ilmu yang mempelajari massalah agama dan ilmu perbandingan agama
dimana keduanya memiliki tujuan yang sama yang tak jauh berbeda, yang
mengembangkan pemahaman terhadap agama dengan mengaplikasikan metode-metode
penelitian yang bertipe bukan agama bukan teologis. Objek dalam ruang lingkup
pisikologi agama menyangkut gejala-gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan
realisasi keagamaan dan mekanisme antara keduanya.[3]
Zakiah
Darajat menyataka bahwa lapangan
penelitian pisikologi agama mencakup proses beragam perasaan dan kesadaran
beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat yang dirasakan sebagai hasil dari
keyakinan. Menurut Zakiah Darajat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian
pisikologi agama meliputi kajian mengenai:
a.
Bermacam-macam
emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama
orang biasa, seperti rasa lega dan tentram sesudah solat, rasa lepas dari
keteganggan batin sesudah berdo’a atau membaca ayat-ayat suci, dan ingat Allah
SWT ketika mengalami kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
b.
Bagamana
perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya
rasa tentram dan kelegaan hati.
c.
Mempelajari,
meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati
pada tiap-tiap orang.
d.
Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan
dengan surge dan neraka, serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
e.
Meneliti dan
mempelajari bagaimana pengaruh penghayaatan terhadap ayat-ayat suci untuk
kelegaan batinnya.
Dengan
demikian ruang lingkup pisikologi agama mencakup pengaruh ajaran agama terhadap
cara berpikir dan bertingkah laku seseorang, baik anak-anak, remaja, dewasa
baik laki-laki maupun perempuan. Maka sangat wajar jika seseorang yang berminat
mempelajari pisikologi agama harus memiliki pengetahuan dasar mengenai ajaran
agama dan pisikologi.
Jadi
lapangan penelitian pisikologi agama adalah gejala-gejala jiwa yang memantul
dan terpancar dari motivasi, ekspresi, sikap dan prilaku yang berkaitan dengan
kesadaran, pengalaman dan kematangan beragama manusia. Pisikologi agama tidak
mengotak-atik masalah dasar atau akidah atau pokok keyakinan suatu agama
seperti konsep Tuhan itu sendiri, surge, neraka, pahala, dosa, kiamat dan
sebagainya.
Dari
pendapat tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa ruang lingkup pisikologi
agama adalah:
a.
Gejala-gejala
jiwa
b.
Sikap dan
perilaku keagamaan
c.
Kematangan
beragana dan kelainan-kelainan sikap keberagamaan.
Hal
teresbut dapat terelasasi dari dorongan atau motivasi, ekspresi, kesadaran,
pengalaman, dan kematangan agama seseorang.
3. Kegunaan Pisikologi Agama Dalam Islam
Menurut
Djalaluddin kegunaan pisikologi agama adalah dapat dimanfaatkan dalam lapangan
kehidupan seperti dalam bidang pendidikan, pisikoterapi dan mungkin pula dalam
lapangan lainnya pada kehidupan. Bahkan sudah sejak lama pemerintah colonial belanda
memeanfaatkan hasil kajian pisikologi agama untuk kepentingan politik.
Pendekatan agama yang dilakukan oleh Snouck Hugronje terhadap para pemuka agama
dalam upaya mempertahankan politik penjajahan Belanda di Indonesia.
Di
bidang industry juga pisikologi agama dapat dimanfaat kan sekitar tahun 50-an
di perusahaan minyak yaitu diselenggarakan ceramah agama untuk para buruhnya.
Kemudian sekitar tahun 1979, salah satu perusahaan tekstil pernah melarang para
buruhnya menunaikan sholat jumat, karena menurut pimpinan perusahaan waktu
istirahat siang dan sholat jumat mengurangi jumlah jam kerja dan akan
mengurangai jumlah produksi.[4]
Akan tetapi setelah larangan dilaksanakan dan buruh dipaksakan tetap kerja
ternyata produksi menurun secara drastic. Disini terlihat hubungan tingkat
produksi dan etos kerja yang ada kaitannya dalam kesadaran beragama.
Dalam
kasus-kasus lain pisikologi agama banyak dipakai sebagai satu pendekatan baik
secara langsung maupun secara tidak langsung dan juga dapat digunakan untuk
membangkitkan perasaan dan kesadaran beragama. Dan juga sebagai pengobatan para
pasien di rumah sakit sebagai suatu usaha bimbingan untuk meningkatkan proses
penyembuh dari penyakitnya. Selain itu juga dilembaga kemasyarakatan banyak
dipakai pendekatan pisikologi agama untuk menyadarkan para narapidana. Demikian
juga pisikologi agama dapat digunakan untuk memberikan kesadaran pada para
siswa untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kegunaan pisikologi agama adalah dapat
dilakukan atau dimanfaatkan dalam segala jenis lapangan kehhidupan, baik dalam
dunia politik, social kemasyarakatan, perdagangan, ekonomi, pendidikan, dan
lapangan-lapangan kehidupan lainnya. Dalam pandangan islam pisikologi dan agama
ini sangat dibutuhkan, karena pisikologi dan agama sama-sama mempelajari
tentang jiwa dan kepercayaan seseorang terhadap Tuhannya.
Pisikologi
dimiliki oleh manusia secara pribadi yang memberikan arah emosional dalam
merealisasikan perbuatannya sehari-hari, karena itulah daya-daya jiwa manusia
perlu dikembnagkan, diperhatikan dan diarahkan.[5]
Salah satu daya jiwa manusia yang sangat menentukan keberhasilan hidup adalah
yang dikatakan intelegensi question, kemudian dilengkapai dengan emosional
question, serta diarahkan oleh spiritual question. Maksudnya manusia yang
diinginkan oleh Allah sebagaimana yang dicantumkan dalam al-quran surat
al-Zariat ayat 56 yang artinya “ dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan manusia
selain untuk mengabdi kepada-Ku”.
Berarti
dalam penciptaan tujuan Allah tersebut sangatlah dibutuhkan
kemampuan-kemampuan dasar manusia atau
yang disebut daya-daya jiwa manusia yaitu kemampuan manusia berpikir, kemampuan
manusia bertindak, kemampuan manusia menentukan apa yang akan dilakukan.
Kemampuan-kemampuan ini adalah bahasan dari pisikologi, sedangkan warna atau
bahasan apakah prilaku yang akan dilakukan oleh manusia itu terkategori
dibolehkan atau tidak yang kesemuannya itu menentukan tingkat kebaikan dan
nilai dari prilaku manusia itu sendiri adalah dibahas dalam islam.
Berarti
antara pisikologi agama dan islam dan bahasanya adalah sangat dan saling
menunjang dan memperhatikan, hanya pisikologi agama masih meliputi secara umum
yaitu meliputi semua agama sedangkan islam khusus untuk agama islam.
4. Tujuan Pisikologi Agama
Adapun
tujuan pisikologi agama adalah untuk meneliti dan menelaah kehidupan beragama
seseorang dan mempelajari beberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam
sikap dan tingkah laku serta kehidupan pada umumnya.[6]
Disamping itu ilmu jiwa agama mempelajari pula pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang dan factor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan.
Dengan
kata lain dapat kita katakana bahwa ilmu jiwa agama meneliti pengaruh agama
terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam
diri seseorang karena cara seseorang berfikir, bersikap, bereaksi, dan
bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu
termasuk dalamm konstruksi keperibadiannya.[7]
Pisikologi
agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu
pengetahuan tidak mempunyai tekhnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang
seperti itu baik sekarang atau masa depan. Ilmu pengetahuan tidak mampu
membuktikan ketidak adaannya Tuhan, karena tidak ada tekhnik empiris untuk
membuktikan adanya gejala yang tidak empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa.
Tujuan
dari mata kuliah pisikologi agama adalah:
a.
Menjadikan
mahasiswa berpikir komperhensif, kritis, analitis, dan berperilaku agamis.
b.
Memberikan
pemahaman kepada mahasiswa tentang pengaruh ajaran agama terhadap cara
berpikir, cara berperilaku, baik masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan lansia.
c.
Menjadikan
mahasiswa menjadi manusia yang sehat jiwa, cerdas, dan matang dalam
berideologi.
5. Dasar-Dasar Pisikologi Dalam Kehidupan Beragama
Dasar-dasar
pisikologi dalam kehidupan beragama terdapat dalam surat[8]:
a.
Q.S Al-hujurat
ayat 13
Yang
artinya” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakaan kamudari seorang laki-laki
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal”.
b.
Q.S Al-baqoroh
ayat 21
Artinya”
Hai manusia sembahlahAllah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu agar kamu bertaqwa”.
c.
Q.S Ar-rahman
ayat 3-4
Artinya”
Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara”.
d.
Q.S Al-A’raf
ayat 31
Artinya”
Hai anak Adam pakailah pakaianmu yang terindah disetiap memasuki masjid, makan
dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang
yang berlebih-lebih”.
e.
Q.S Al-Mu’minun
ayat 12-14
Artinya”
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati yang berasal
dari tanah, kemudian Kami jadikan sarippati itu menjadi air mani yang disimpan dalam
tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu kami jadikan segumppal daging dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain. Maka maha suci
Allah, Pencipta yang paling terbaik”.
6. Teori Sifat Dasar Dalam Kehidupan Beragama
a.
Teori Emosi
Emosi pada umumnya
disifatkan sebagai keadaan (state)
yang ada pada individu atau organisme pada suatu waktu.Emosi berlangsung dalam
waktu yang relatif singkat, sehingga emosi berbeda dengan mood. Mood atau suasana hati pada umumnya berlangsung
dalam waktu yang relatif lebih lama dari pada emosi, tetapi intensitasnya
kurang apabila dibandingkan dengan emosi. Apabila seseorang mengalami marah
(emosi), maka kemarahan tersebut tidak segera hilang begitu saja tetapi masih
terus berlangsung dalam jiwa seseorang (ini yang dimaksud dengan mood) yang akan berperan dalam diri
orang yang bersangkutan.
Oleh karena itu sering
dikemukakan bahwa emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi
tertentu(khusus), dan emosi cendrunng terjadi dalam kaitannya dengan perilaku
yang mengarah (approach) atau
menyingkiri (avoidance) terhadap
sesuatu, dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi
kejasmanian, sehingga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang
mengalami emosi.
Namun demikian kadang-kadang
orang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak
tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda kejasmanian tersebut. Hal ini
berkiatan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen. Menurut
Ekman dan Friesen ada tiga rules,
yaitu masking, modulation,dan samulation.
Masking adalah keadaan seseorang
yang dapat menyambunyikan atau dapat menutupi emosi yang dialaminya. Pada modulasi (modulation) orang tidak dapat meredam
secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat mengurangi
saja. Pada simulasi(simulation) orang tidak mengalami emosi, tetapi
seolah-olah mengalami emosi dengan menampakan gejala-gejala kejasmanian.[9]
b.
Teori
Kognitif
Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa
tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh Reward dan reinforcement.
Menurut pendapat para ahli aliran kognitif, tingkah laku seseorang senantiasa
didasarkan pada kondisi,[10]
yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu
terjadi. Dalamm situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu
dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah.
Jadi kaum kognitif berpandangan bahwa tingkah
laku seseorang lebih bergantung pada insight terhadap hubungan-hubungan
yang ada dalam suatau situasai. Mereka memberi tekanan pada organisasi
pengamatan atas stimulus didalam lingkungan serta pada factor-faktor yang
mempengaruhi pengamatan.
BAB
III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Pisikologi
agama adalah ilmu yang membahas, mempelajari, memahami kehidupan beragama pada
manusia dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku keberagamaan atau sama
dengan ilmu yang membahas dan menelaah kehidupan beragama seseorang mulai dari
sumber-sumber jiwa keagamaan, perkembangan, karakteristuk, factor yang
mempengaruhi, gangguan dan perkembangan serta penyimpangan dan mengenai
kecerdasan serta kematangan beragama.
Ruang
lingkup pisikologi agama meliputi:
a.
Gejala-gejala
jiwa
b.
Sikap dan
prilaku keagamaan
c.
Kematangan
beragama dan kelainan-kelainan sikap keberagamaan.
Kegunaan
pisikologi agama dapat dilakukan atau dimanfaatkan dalam segala jenis lapangan
kehidupan, baik dalam dunia politik, social kemasyarakatan, perdagangan,
ekonomi, pendidikan, dan lapangan-lapangan kehidupan lainnya.
Tujuan
pisikologi agama adalah untuk meneliti dan menelaah kehidupan beragama
seseorang dan mempelajari beberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam
sikap dan tingkah laku serta kehidupan pada umumnya.
2.
SARAN
Tak
ada gading yang tak retak, begitu pula dengaan pembuatan makalah yang kami buat
ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari teman-teman semua dan dosen pembimbing agar makalah
ini dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi dan layak untuk dibaca para
pembaca. Terima kasih.
[1]Rohmalina
Wahab, Psikologi Agama, Palembang: Grafika Telindo, hal. 1.
[2]Ibid., hal. 5.
[3]Netty
Hartati, dkk., Islam dan Psikologi ,
Jakarta: Rajawali Pers, hal. 11.
[4]Zainal
Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran
Terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Al-Husna, hal. 64
[5]
Ibid., hal. 74.
[6]Sururin,
Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali
Pers, hal. 17.
[7]
Ibid., hal. 20.
[8]Rohmalina
Wahab, Psikologi Agama, Palembang:
Grafika Telindo, hal. 15.
[9]J.P.
Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi,
Jakarta: Rajawali Pers, hal. 306.
[10]W.A.
Gerungan, Psikologi Sosial, Bandung:
Refika Aditama, hal. 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar